Pidato Soekarno 1 Juni 1945
Pendahuluan
Paduka tuan Ketua yang mulia!
Sesudah tiga hari
berturut-turut anggota-anggota Dokuritu Zyunbi Tyoosakai mengeluarkan
pendapat-pendapatnya, maka sekarang saya mendapat kehormatan dari Paduka tuan
Ketua yang mulia untuk mengemukakan pula pendapat saya.
Saya akan menetapi
permintaan Paduka tuan Ketua yang mulia. Apakah permintaan Paduka tuan ketua
yang mullia? Paduka tuan Ketua yang mulia minta kepada sidang Dokuritu Zyunbi
Tyoosakai untuk mengemukakan dasar Indonesia Merdeka. Dasar inilah nanti akan
saya kemukakan di dalam pidato saya ini.
Ma'af, beribu ma'af!
Banyak anggota telah berpidato, dan dalam pidato mereka itu diutarakan hal-hal
yang sebenarnya bukan permintaan Paduka tuan Ketua yang mulia, yaitu bukan
dasarnya Indonesia Merdeka. Menurut anggapan saya, yang diminta oleh Paduka
tuan ketua yang mulia ialah, dalam bahasa Belanda: "Philosofische
grondslag" dari pada Indonesia merdeka. Philosofische grondslag itulah
pundamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa, hasrat yang
sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia Merdeka yang kekal
dan abadi. Hal ini nanti akan saya kemukakan, Paduka tuan Ketua yang mulia,
tetapi lebih dahulu izinkanlah saya membicarakan, memberi tahukan kepada tuan-tuan
sekalian, apakah yang saya artikan dengan perkataan "merdeka".
Merdeka buat saya ialah: "political independence", politieke
onafhankelijkheid. Apakah yang dinamakan politieke onafhankelijkheid?
Tuan-tuan sekalian! Dengan terus-terang saja saya berkata:
Tatkala Dokuritu
Zyunbi Tyoosakai akan bersidang, maka saya, di dalam hati saya banyak khawatir,
kalau-kalau banyak anggota yang - saya katakan didalam bahasa asing, ma'afkan
perkataan ini - "zwaarwichtig" akan perkara yang kecil-kecil. "Zwaarwichtig"
sampai -kata orang Jawa- "njelimet". Jikalau sudah membicarakan hal
yang kecil-kecil sampai njelimet, barulah mereka berani menyatakan kemerdekaan.
Tuan-tuan yang
terhormat! Lihatlah di dalam sejarah dunia, lihatlah kepada perjalanan dunia
itu. Banyak sekali negara-negara yang merdeka, tetapi bandingkanlah kemerdekaan
negara-negara itu satu sama lain! Samakah isinya, samakah derajatnya
negara-negara yang merdeka itu? Jermania merdeka, Saudi Arabia merdeka, Iran
merdeka, Tiongkok merdeka, Nippon merdeka, Amerika merdeka, Inggris merdeka,
Rusia merdeka, Mesir merdeka. Namanya semuanya merdeka, tetapi bandingkanlah
isinya!
Alangkah berbedanya
isi itu! Jikalau kita berkata: Sebelum Negara merdeka, maka harus lebih dahulu
ini selesai, itu selesai, itu selesai, sampai njelimet!, maka saya bertanya
kepada tuan-tuan sekalian kenapa Saudi Arabia merdeka, padahal 80% dari
rakyatnya terdiri kaum Badui, yang sama sekali tidak mengerti hal ini atau itu.
Bacalah buku Armstrong yang menceriterakan tentang Ibn Saud! Disitu ternyata,
bahwa tatkala Ibn Saud mendirikan pemerintahan Saudi Arabia, rakyat Arabia
sebagian besar belum mengetahui bahwa otomobil perlu minum bensin. Pada suatu
hari otomobil Ibn Saud dikasih makan gandum oleh orang-orang Badui di Saudi
Arabia itu!! Toch Saudi Arabia merdeka! Lihatlah pula - jikalau tuan-tuan
kehendaki contoh yang lebih hebat - Soviet Rusia! Pada masa Lenin mendirikan
Negara Soviet, adakah rakyat soviet sudah cerdas? Seratus lima puluh milyun
rakyat Rusia, adalah rakyat Musyik yang lebih dari pada 80% tidak dapat membaca
dan menulis; bahkan dari buku-buku yang terkenal dari Leo Tolstoi dan Fulop
Miller, tuan-tuan mengetahui betapa keadaan rakyat Soviet Rusia pada waktu
Lenin mendirikan negara Soviet itu. Dan kita sekarang disini mau mendirikan
negara Indonesia merdeka. Terlalu banyak macam-macam soal kita kemukakan! Maaf,
P. T. Zimukyokutyoo! Berdirilah saya punya bulu, kalau saya membaca tuan punya
surat, yang minta kepada kita supaya dirancangkan sampai njelimet hal ini dan
itu dahulu semuanya!
Kalau benar semua
hal ini harus diselesaikan lebih dulu, sampai njelimet, maka saya tidak akan
mengalami Indonesia Merdeka, tuan tidak akan mesngalami Indonesia merdeka, kita
semuanya tidak akan mengalami Indonesia merdeka, - sampai dilobang kubur!
Saudara-saudara!
Apakah yang dinamakan merdeka? Di dalam tahun '33 saya telah menulis satu
risalah, Risalah yang bernama "Mencapai Indonesia Merdeka". Maka di
dalam risalah tahun '33 itu, telah saya katakan, bahwa kemerdekaan, politieke
onafhankelijkheid, political independence, tak lain dan tak bukan, ialah satu
jembatan emas. Saya katakan di dalam kitab itu, bahwa diseberangnya jembatan
itulah kita sempurnakan kita punya masyarakat.
Ibn Saud mengadakan
satu negara di dalam satu malam, - in one night only! -, kata Armstrong di
dalam kitabnya. Ibn Saud mendirikan Saudi Arabia merdeka di satu malam sesudah
ia masuk kota Riad dengan 6 orang! Sesudah "jembatan" itu diletakkan
oleh Ibn saud, maka diseberang jembatan, artinya kemudian dari pada itu, Ibn
Saud barulah memperbaiki masyarakat Saudi arabia. Orang tidak dapat membaca
diwajibkan belajar membaca, orang yang tadinya bergelandangan sebagai nomade
yaitu orang badui, diberi pelajaran oleh Ibn Saud jangan bergelandangan,
dikasih tempat untuk bercocok-tanam. Nomade dirubah oleh Ibn Saud menjadi kaum
tani, - semuanya diseberang jembatan.
Adakah Lenin ketika
dia mendirikan negara Soviet-Rusia Merdeka, telah mempunyai Djnepprprostoff
[1], dam yang maha besar di sungai Dnepr? Apa ia telah mempunyai radio-station,
yang menyundul keangkasa? Apa ia telah mempunyai kereta-kereta api cukup, untuk
meliputi seluruh negara Rusia?
Apakah tiap-tiap
orang Rusia pada waktu Lenin mendirikan Soviet Rusia merdeka telah dapat
membaca dan menulis? Tidak, tuan-tuan yang terhormat! Di seberang jembatan emas
yang diadakan oleh Lenin itulah, Lenin baru mengadakan radio- station, baru
mengadakan sekolahan, baru mengadakan Creche, baru mengadakan Djnepprostoff!
Maka oleh karena itu saya minta kepada tuan-tuan sekalian, janganlah tuan-tuan
gentar di dalam hati, janganlah mengingat bahwa ini danitu lebih dulu harus
selesai dengan njelimet, dan kalau sudah selesai, baru kita dapat merdeka.
Alangkah berlainannnya tuan-tuan punya semangat, - jikalau tuan-tuan demikian
-, dengan semangat pemuda-pemuda kita yang 2 milyun banyaknya. Dua milyun
pemuda ini menyampaikan seruan pada saya, 2 milyun pemuda ini semua berhasrat
Indonesia Merdeka Sekarang!
Saudara-saudara,
kenapa kita sebagai pemimpin rakyat, yang mengetahui sejarah, menjadi
zwaarwichtig, menjadi gentar, pada hal semboyan Indonesia merdeka bukan
sekarang saja kita siarkan? Berpuluh-puluh tahun yang lalu, kita telah
menyiarkan semboyan Indonesia merdeka, bahkan sejak tahun 1932 dengan
nyata-nyata kita mempunyai semboyan "INDONESIA MERDEKA SEKARANG".
Bahkan 3 kali sekarang, yaitu Indonesia Merdeka sekarang, sekarang, sekarang!
Dan sekarang kita
menghadapi kesempatan untuk menyusun Indonesia merdeka, - kok lantas kita
zwaarwichtig dan gentar hati!. Saudara -saudara, saya peringatkan sekali lagi,
Indonesia Merdeka, political independence, politieke onafhankelijkheid, tidak
lain dan tidak bukan ialah satu jembatan! Jangan gentar! Jikalau umpamanya kita
pada saat sekarang ini diberikan kesempatan oleh Dai Nippon untuk merdeka, maka
dengan mudah Gunseikan diganti dengan orang yang bernama Tjondro Asmoro, atau
Soomubutyoo diganti dengan orang yang bernama Abdul Halim. Jikalau umpamanya
Butyoo Butyoo diganti dengan orang-orang Indonesia, pada sekarang ini,
sebenarnya kita telah mendapat political independence, politieke
onafhankelijkheid, - in one night, di dalam satu malam! Saudara-saudara,
pemuda-pemuda yang 2 milyun, semuanya bersemboyan: Indonesia merdeka, sekarang!
Jikalau umpamanya Balatentera Dai Nippon sekarang menyerahkan urusan negara
kepada saudara-saudara, apakah saudara-saudara akan menolak, serta berkata:
mangke- rumiyin, tunggu dulu, minta ini dan itu selesai dulu, baru kita berani
menerima urusan negara Indonesia merdeka?
(Seruan: Tidak!
Tidak)
Saudara-saudara,
kalau umpamanya pada saat sekarang ini balatentara Dai Nippon menyerahkan
urusan negara kepada kita, maka satu menitpun kita tidak akan menolak,
sekarangpun kita menerima urusan itu, sekarangpun kita mulai dengan negara
Indonesia yang Merdeka!
Saudara-saudara,
tadi saya berkata, ada perbedaan antara Soviet-Rusia, Saudi Arabia, Inggris,
Amerika dll. tentang isinya: tetapi ada satu yang sama, yaitu, rakyat Saudi
Arabia sanggup mempertahankan negaranya. Musyik-musyik di Rusia sanggup
mempertahankan negaranya. Rakyat Amerika sanggup mempertahankan negaranya.
Inilah yang menjadi minimum-eis. Artinya, kalau ada kecakapan yang lain, tentu
lebih baik, tetapi manakala sesuatu bangsa telah sanggup mempertahankan
negerinya dengan darahnya sendiri, dengan dagingnya sendiri, pada saat itu
bangsa itu telah masak untuk kemerdekaan. Kalau bangsa kita, Indonesia,
walaupun dengan bambu runcing, saudara-saudara, semua siap-sedia mati,
mempertahankan tanah air kita Indonesia, pada saat itu bangsa Indonesia adalah
siap-sedia, masak untuk merdeka.
Cobalah pikirkan hal
ini dengan memperbandingkannya dengan manusia. Manusia pun demikian,
saudara-saudara! Ibaratnya, kemerdekaan saya bandingkan dengan perkawinan. Ada
yang berani kawin, lekas berani kawin, ada yang takut kawin. Ada yang berkata:
Ah saya belum berani kawin, tunggu dulu gajih F.500. Kalau saya sudah mempunyai
rumah gedung, sudah ada permadani, sudah ada lampu listrik, sudah mempunyai
tempat tidur yang mentul-mentul, sudah mempunyai sendok-garpu perak satu kaset,
sudah mempunyai ini dan itu, bahkan sudah mempunyai kinder-uitzet, barulah saya
berani kawin.
Ada orang lain yang
berkata: saya sudah berani kawin kalau saya sudah mempunyai meja satu, kursi
empat, yaitu "meja-makan", lantas satu zitje, lantas satu tempat
tidur.
Ada orang yang lebih
berani lagi dari itu, yaitu saudara-saudara Marhaen! Kalau dia sudah mempunyai
gubug saja dengan tikar, dengan satu periuk: dia kawin. Marhaen dengan satu
tikar, satu gubug: kawin. Sang klerk dengan satu meja, empat kursi, satu zitje,
satu tempat-tidur: kawin. Sang Ndoro yang mempunyai rumah gedung, elektrische
kookplaat, tempat tidur, uang bertimbun-timbun: kawin. Belum tentu mana yang
lebih gelukkig, belum tentu mana yang lebih bahagia, sang Ndoro dengan tempat
tidurnya yang mentul-mentul, atau Sarinem dan Samiun yang hanya mempunyai satu
tikar dan satu periuk, saudara-saudara!
Saudara-saudara,
soalnya adalah demikian: kita ini berani merdeka atau tidak?? Inilah,
saudara-saudara sekalian, Paduka tuan ketua yang mulia, ukuran saya yang
terlebih dulu saya kemukakan sebelum saya bicarakan hal-hal yang mengenai
dasarnya satu negara yang merdeka. Saya mendengar uraian P.T. Soetardjo
beberapa hari yang lalu, tatkala menjawab apakah yang dinamakan merdeka, beliau
mengatakan: kalau tiap-tiap orang di dalam hatinya telah merdeka, itulah
kemerdekaan. Saudara-saudara, jika tiap-tiap orang Indonesia yang 70 milyun ini
lebih dulu harus merdeka di dalam hatinya, sebelum kita dapat mencapai
political independence, saya ulangi lagi, sampai lebur kiamat kita belum dapat
Indonesia merdeka!
Di dalam Indonesia
merdeka itulah kita memerdekakakan rakyat kita!! Di dalam Indonesia Merdeka
itulah kita memerdekakan hatinya bangsa kita! Di dalam Saudi Arabia Merdeka,
Ibn Saud memerdekakan rakyat Arabia satu persatu. Di dalam Soviet-Rusia Merdeka
Stalin memerdeka-kan hati bangsa Soviet-Rusia satu persatu.
Saudara-saudara!
Sebagai juga salah seorang pembicara berkata: kita bangsa Indonesia tidak sehat
badan, banyak penyakit malaria, banyak dysenterie, banyak penyakit hongerudeem,
banyak ini banyak itu. "Sehatkan dulu bangsa kita, baru kemudian
merdeka".
Saya berkata, kalau
inipun harus diselesaikan lebih dulu, 20 tahun lagi kita belum merdeka. Di
dalam Indonesia Merdeka itulah kita menyehatkan rakyat kita, walaupun misalnya
tidak dengan kinine, tetapi kita kerahkan segenap masyarakat kita untuk
menghilangkan penyakit malaria dengan menanam ketepeng kerbau. Di dalam
Indonesia Merdeka kita melatih pemuda kita agar supaya menjadi kuat, di dalam
Indonesia Merdeka kita menyehatkan rakyat sebaik-baiknya. Inilah maksud saya
dengan perkataan "jembatan". Di seberang jembatan, jembatan emas,
inilah, baru kita leluasa menyusun masyarakat Indonesia merdeka yang gagah,
kuat, sehat, kekal dan abadi.
Tuan-tuan sekalian!
Kita sekarang menghadapi satu saat yang maha penting. Tidakkah kita mengetahui,
sebagaimana telah diutarakan oleh berpuluh-puluh pembicara, bahwa sebenarnya
internationalrecht, hukum internasional, menggampangkan pekerjaan kita? Untuk
menyusun, mengadakan, mengakui satu negara yang merdeka, tidak diadakan syarat
yang neko-neko, yang menjelimet, tidak!. Syaratnya sekedar bumi, rakyat,
pemerintah yang teguh! Ini sudah cukup untuk internationalrecht. Cukup,
saudara-saudara. Asal ada buminya, ada rakyatnya, ada pemerintahnya, kemudian
diakui oleh salah satu negara yang lain, yang merdeka, inilah yang sudah
bernama: merdeka. Tidak peduli rakyat dapat baca atau tidak, tidak peduli
rakyat hebat ekonominya atau tidak, tidak peduli rakyat bodoh atau pintar, asal
menurut hukum internasional mempunyai syarat-syarat suatu negara merdeka, yaitu
ada rakyatnya, ada buminya dan ada pemerintahnya, - sudahlah ia merdeka.
Janganlah kita
gentar, zwaarwichtig, lantas mau menyelesaikan lebih dulu 1001 soal yang
bukan-bukan! Sekali lagi saya bertanya: Mau merdeka apa tidak? Mau merdeka atau
tidak?
Saudara-saudara!
Sesudah saya bicarakan tentang hal "merdeka", maka sekarang saya
bicarakan tentang hal dasar.
Paduka tuan Ketua
yang mulia! Saya mengerti apakah yang paduka tuan Ketua kehendaki! Paduka tuan
Ketua minta dasar, minta philosophischegrondslag, atau, jikalau kita boleh
memakai perkataan yang muluk-muluk, Paduka tuan Ketua yang mulia meminta suatu
"Weltanschauung", diatas mana kita mendirikan negara Indonesia itu.
Kita melihat dalam
dunia ini, bahwa banyak negeri-negeri yang merdeka, dan banyak diantara
negeri-negeri yang merdeka itu berdiri di atas suatu
"Weltanschauung". Hitler mendirikan Jermania di atas
"national-sozialistische Weltanschauung", - filsafat
nasional-sosialisme telah menjadi dasar negara Jermania yang didirikan oleh
Adolf Hitler itu. Lenin mendirikan negara Soviet diatas satu
"Weltanschauung", yaitu Marxistische, Historisch- materialistische
Weltanschaung. Nippon mendirikan negara negara dai Nippon di atas satu
"Weltanschauung", yaitu yang dinamakan "Tennoo Koodoo
Seishin". Diatas "Tennoo Koodoo Seishin" inilah negara dai
Nippon didirikan. Saudi Arabia, Ibn Saud, mendirikan negara Arabia di atas satu
"Weltanschauung", bahkan diatas satu dasar agama, yaitu Islam.
Demikian itulah yang diminta oleh paduka tuan Ketua yang mulia: Apakah
"Weltanschauung" kita, jikalau kita hendak mendirikan Indonesia yang
merdeka?
Tuan-tuan sekalian,
"Weltanschauung" ini sudah lama harus kita bulatkan di dalam hati
kita dan di dalam pikiran kita, sebelum Indonesia Merdeka datang.
Idealis-idealis di seluruh dunia bekerja mati-matian untuk mengadakan
bermacam-macam "Weltanschauung", bekerja mati-matian untuk
me"realiteitkan""Weltanschauung" mereka itu. Maka oleh
karena itu, sebenarnya tidak benar perkataan anggota yang terhormat Abikusno,
bila beliau berkata, bahwa banyak sekali negara-negara merdeka didirikan dengan
isi seadanya saja, menurut keadaan, Tidak! Sebab misalnya, walaupun menurut
perkataan John Reed: "Soviet-Rusia didirikan didalam 10 hari oleh Lenin
c.s.", - John Reed, di dalam kitabnya:"Ten days that shook the
world", "sepuluh hari yang menggoncangkan dunia" -, walaupun
Lenin mendirikan Soviet-Rusia di dalam 10 hari, tetapi
"Weltanschauung"nya, dan di dalam 10 hari itu hanya sekedar direbut
kekuasaan, dan ditempatkan negara baru itu diatas "Weltanschauung"
yang sudah ada. Dari 1895 "Weltanschauung" itu telah disusun. Bahkan
dalam revolutie 1905, Weltanschauung itu "dicobakan", di
"generale-repetitie-kan".
Lenin di dalam
revolusi tahun 1905 telah mengerjakan apa yang dikatakan oleh beliau sendiri
"generale-repetitie" dari pada revolusi tahun 1917. Sudah lama
sebelum 1917, "Weltanschaung" itu disedia-sediakan, bahkan
diikhtiar-ikhtiarkan. Kemudian, hanya dalam 10 hari, sebagai dikatakan oleh
John Reed, hanya dalam 10 hari itulah didirikan negara baru, direbut kekuasaan,
ditaruhkan kekuasaan itu di atas "Weltanschauung" yang telah
berpuluh-puluh tahun umurnya itu. Tidakkah pula Hitler demikian?
Di dalam tahun 1933
Hitler menaiki singgasana kekuasaan, mendirikan negara Jermania di atas
National-sozialistische Weltanschauung. Tetapi kapankah Hitler mulai
menyediakan dia punya "Weltanschauung" itu? Bukan di dalam tahun
1933, tetapi di dalam tahun 1921 dan 1922 beliau telah bekerja, kemudian
mengikhtiarkan pula, agar supaya Naziisme ini, "Weltanschauung" ini,
dapat menjelma dengan dia punya "Munschener Putsch", tetapi gagal. Di
dalam 1933 barulah datang saatnya yang beliau dapat merebut kekuasaan, dan
negara diletakkan oleh beliau di atas dasar"Weltanschauung" yang
telah dipropagandakan berpuluh-puluh tahun itu.
Maka demikian pula,
jika kita hendak mendirikan negara Indonesia Merdeka, Paduka tuan ketua,
timbullah pertanyaan: Apakah "Weltanschauung" kita, untuk mendirikan
negara Indonesia Merdeka diatasnya? Apakah nasional-sosialisme? Apakah
historisch-materialisme? Apakah San Min Chu I, sebagai dikatakan doktor Sun Yat
Sen?
Di dalam tahun 1912
Sun Yat Sen mendirikan negara Tiongkok merdeka, tetapi
"Weltanschauung"nya telah dalam tahun 1885, kalau saya tidak salah,
dipikirkan, dirancangkan. Di dalam buku "The three people"s
principles" San Min Chu I, - Mintsu, Minchuan, Min Sheng, - nasionalisme,
demokrasi, sosialisme,- telah digambarkan oleh doktor Sun Yat Sen
Weltanschauung itu, tetapi baru dalam tahun 1912 beliau mendirikan negara baru
diatas "Weltanschauung" San Min Chu I itu, yang telah disediakan
terdahulu berpuluh-puluh tahun.
Kita hendak
mendirikan negara Indonesia merdeka di atas "Weltanschauung" apa?
Nasional-sosialisme-kah, Marxisme-kah, San Min Chu I-kah, atau "Weltanschauung'
apakah?
Saudara-saudara
sekalian, kita telah bersidang tiga hari lamanya, banyak pikiran telah
dikemukakan, - macam-macam - , tetapi alangkah benarnya perkataan dr Soekiman,
perkataan Ki Bagoes Hadikoesoemo, bahwa kita harus mencari persetujuan, mencari
persetujuan faham. Kita bersama-sama mencari persatuan philosophischegrondslag,
mencari satu "Weltanschauung" yang kita semua setuju. Saya katakan
lagi setuju! Yang saudara Yamin setujui, yang Ki Bagoes setujui, yang Ki Hajar
setujui, yang sdr. Sanoesi setujui, yang sdr. Abikoesno setujui, yang sdr. Lim
Koen Hian setujui, pendeknya kita semua mencari satu modus. Tuan Yamin, ini
bukan compromis, tetapi kita bersama-sama mencari satu hal yang kita
ber-sama-sama setujui. Apakah itu? Pertama-tama, saudara-saudara, saya
bertanya: Apakah kita hendak mendirikan Indonesia merdeka untuk sesuatu orang,
untuk sesuatu golongan?
Mendirikan negara
Indonesia merdeka yang namanya saja Indonesia Merdeka, tetapi sebenarnya hanya
untuk mengagungkan satu orang, untuk memberi kekuasaan kepada satu golongan
yang kaya, untuk memberi kekuasaan pada satu golongan bangsawan?
Apakah maksud kita
begitu? Sudah tentu tidak! Baik saudara-saudara yang bernama kaum kebangsaan
yang disini, maupun saudara-saudara yang dinamakan kaum Islam, semuanya telah
mufakat, bahwa bukan yang demikian itulah kita punya tujuan. Kita hendak
mendirikan suatu negara "semua buat semua". Bukan buat satu orang,
bukan buat satu golongan, baik golongan bangsawan, maupun golongan yang kaya, -
tetapi "semua buat semua". Inilah salah satu dasar pikiran yang nanti
akan saya kupas lagi. Maka, yang selalu mendengung di dalam saya punya jiwa,
bukan saja di dalam beberapa hari di dalam sidang Dokurutu Zyunbi Tyoosakai
ini, akan tetapi sejak tahun 1918, 25 tahun yang lebih, ialah: Dasar pertama,
yang baik dijadikan dasar buat negara Indonesia, ialah dasar kebangsaan.
Prinsip
pertama
Kita mendirikan satu
negara kebangsaan Indonesia.
Saya minta saudara
Ki Bagoes Hadikoesoemo dan saudara-saudara Islam lain: maafkanlah saya memakai
perkataan "kebangsaan" ini! Sayapun orang Islam. Tetapi saya minta
kepada saudara- saudara, janganlah saudara-saudara salah faham jikalau saya
katakan bahwa dasar pertama buat Indonesia ialah dasar kebangsaan. Itu bukan
berarti satu kebangsaan dalam arti yang sempit, tetapi saya menghendaki satu
nasionalestaat, seperti yang saya katakan dalam rapat di Taman Raden Saleh
beberapa hari yang lalu. Satu Nationale Staat Indonesia bukan berarti staat
yang sempit. Sebagai saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo katakan kemarin, maka tuan
adalah orang bangsa Indonesia, bapak tuanpun adalah orang Indonesia, nenek
tuanpun bangsa Indonesia, datuk-datuk tuan, nenek-moyang tuanpun bangsa
Indonesia. Diatas satu kebangsaan Indonesia, dalam arti yang dimaksudkan oleh
saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo itulah, kita dasarkan negara Indonesia.
Satu Nationale
Staat! Hal ini perlu diterangkan lebih dahulu, meski saya di dalam rapat besar
di Taman Raden Saleh sedikit-sedikit telah menerangkannya. Marilah saya uraikan
lebih jelas dengan mengambil tempoh sedikit: Apakah yang dinamakan bangsa?
Apakah syaratnya bangsa?
Menurut Renan syarat
bangsa ialah "kehendak akan bersatu". Perlu orang-orangnya merasa
diri bersatu dan mau bersatu. Ernest Renan menyebut syarat bangsa: "le
desir d'etre ensemble", yaitu kehendak akan bersatu. Menurut definisi
Ernest Renan, maka yang menjadi bangsa, yaitu satu gerombolan manusia yang mau
bersatu, yang merasa dirinya bersatu.
Kalau kita lihat
definisi orang lain, yaitu definisi Otto Bauer, di dalam bukunya "Die
Nationalitatenfrage", disitu ditanyakan: "Was ist eine Nation?"
dan jawabnya ialah: "Eine Nation ist eine aus chiksals-gemeinschaft
erwachsene Charaktergemeinschaft". Inilah menurut Otto Bauer satu natie.
(Bangsa adalah satu persatuan perangai yang timbul karena persatuan nasib).
Tetapi kemarinpun,
tatkala, kalau tidak salah, Prof. Soepomo mensitir Ernest Renan, maka anggota
yang terhormat Mr. Yamin berkata: "verouderd", "sudah tua".
Memang tuan-tuan sekalian, definisi Ernest Renan sudah "verouderd",
sudah tua. Definisi Otto Bauer pun sudah tua. Sebab tatkala Otto Bauer
mengadakan definisinya itu, tatkala itu belum timbul satu wetenschap baru, satu
ilmu baru, yang dinamakan Geopolitik.
Kemarin, kalau tidak
salah, saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo, atau Moenandar, mengatakan tentang
"Persatuan antara orang dan tempat". Persatuan antara orang dan
tempat, tuan-tuan sekalian, persatuan antara manusia dan tempatnya!
Orang dan tempat
tidak dapat dipisahkan! Tidak dapat dipisahkan rakyat dari bumi yang ada di
bawah kakinya. Ernest Renan dan Otto Bauer hanya sekedar melihat orangnya.
Mereka hanya memikirkan "Gemeinschaft"nya dan perasaan orangnya,
"l'ame et desir". Mereka hanya mengingat karakter, tidak mengingat
tempat, tidak mengingat bumi, bumi yang didiami manusia itu, Apakah tempat itu?
Tempat itu yaitu tanah air. Tanah air itu adalah satu kesatuan. Allah s.w.t
membuat peta dunia, menyusun peta dunia. Kalau kita melihat peta dunia, kita
dapat menunjukkan dimana"kesatuan-kesatuan" disitu. Seorang anak
kecilpun, jukalau ia melihat peta dunia, ia dapat menunjukkan bahwa kepulauan
Indonesia merupakan satu kesatuan. Pada peta itu dapat ditunjukkan satu
kesatuan gerombolan pulau-pulau diantara 2 lautan yang besar, lautan Pacific
dan lautan Hindia, dan diantara 2 benua, yaitu benua Asia dan benua Australia.
Seorang anak kecil dapat mengatakan, bahwa pulau-pulau Jawa, Sumatera, Borneo,
Selebes, Halmaheira, Kepulauan Sunda Kecil, Maluku, dan lain-lain pulau kecil
diantaranya, adalah satu kesatuan. Demikian pula tiap-tiap anak kecil dapat
melihat pada peta bumi, bahwa pulau-pulau Nippon yang membentang pada pinggir
Timur benua Asia sebagai"golfbreker" atau pengadang gelombang lautan
Pacific, adalah satu kesatuan.
Anak kecilpun dapat
melihat, bahwa tanah India adalah satu kesatuan di Asia Selatan, dibatasi oleh
lautan Hindia yang luas dan gunung Himalaya. Seorang anak kecil pula dapat
mengatakan, bahwa kepulauan Inggris adalah satu kesatuan. Griekenland atau
Yunani dapat ditunjukkan sebagai kesatuan pula, Itu ditaruhkan oleh Allah
s.w.t. demikian rupa. Bukan Sparta saja, bukan Athene saja, bukan Macedonia
saja, tetapi Sparta plus Athene plus Macedonia plus daerah Yunani yang lain-lain,
segenap kepulauan Yunani, adalah satu kesatuan.
Maka manakah yang
dinamakan tanah tumpah-darah kita, tanah air kita? Menurut geopolitik, maka
Indonesialah tanah air kita. Indonesia yang bulat, bukan Jawa saja, bukan
Sumatera saja, atau Borneo saja, atau Selebes saja, atau Ambon saja, atau
Maluku saja, tetapi segenap kepulauan uang ditunjuk oleh Allah s.w.t. menjadi
suatu kesatuan antara dua benua dan dua samudera, itulah tanah air kita!
Maka jikalau saya
ingat perhubungan antara orang dan tempat, antara rakyat dan buminya, maka
tidak cukuplah definisi yang dikatakan oeh Ernest Renan dan Otto Bauer itu.
Tidak cukup "le desir d'etre ensembles", tidak cukup definisi Otto
Bauer "aus schiksalsgemeinschaft erwachsene Charaktergemeinschaft"
itu. Maaf saudara-saudara, saya mengambil contoh Minangkabau, diantara bangsa
di Indonesia, yang paling ada "desir d'entre ensemble", adalah rakyat
Minangkabau, yang banyaknya kira-kira 2,5 milyun.
Rakyat ini merasa
dirinya satu keluarga. Tetapi Minangkabau bukan satu kesatuaan, melainkan hanya
satu bahagian kecil dari pada satu kesatuan! Penduduk Yogyapun adalah merasa
"le desir d"etre ensemble", tetapi Yogyapun hanya satu bahagian
kecil dari pada satu kesatuan. Di Jawa Barat rakyat Pasundan sangat merasakan "le
desir d'etre ensemble", tetapi Sundapun hanya satu bahagian kecil dari
pada satu kesatuan.
Pendek kata, bangsa
Indonesia, Natie Indonesia, bukanlah sekedar satu golongan orang yang hidup
dengan "le desir d'etre ensemble" diatas daerah kecil seperti
Minangkabau, atau Madura, atau Yogya, atau Sunda, atau Bugis, tetapi bangsa
Indonesia ialah seluruh manusia-manusia yang, menurut geopolitik yang telah
ditentukan oleh s.w.t., tinggal dikesatuannya semua pulau-pulau Indonesia dari
ujung Utara Sumatra sampai ke Irian! Seluruhnya!, karena antara manusia
70.000.000 ini sudah ada "le desir d'etre enemble", sudah terjadi
"Charaktergemeinschaft"! Natie Indonesia, bangsa Indonesia, ummat
Indonesia jumlah orangnya adalah 70.000.000, tetapi 70.000.000 yang telah menjadi
satu, satu, sekali lagi satu!
Kesinilah kita semua
harus menuju: mendirikan satu Nationale staat, diatas kesatuan bumi Indonesia
dari Ujung Sumatera sampai ke Irian. Saya yakin tidak ada satu golongan diatara
tuan-tuan yang tidak mufakat, baik Islam maupun golongan yang dinamakan
"golongan kebangsaan". Kesinilah kita harus menuju semuanya.
Saudara-saudara, jangan orang mengira bahwa tiap-tiap negara merdeka adalah
satu nationale staat! Bukan Pruisen, bukan Beieren, bukan Sakssen adalah
nationale staat, tetapi seluruh Jermanialah satu nationale staat. Bukan bagian
kecil-kecil, bukan Venetia, bukan Lombardia, tetapi seluruh Italialah, yaitu
seluruh semenanjung di Laut Tengah, yang diutara dibatasi pegunungan Alpen,
adalah nationale staat. Bukan Benggala, bukan Punjab, bukan Bihar dan Orissa,
tetapi seluruh segi-tiga Indialah nanti harus menjadi nationale staat.
Demikian pula bukan
semua negeri-negeri di tanah air kita yang merdeka dijaman dahulu, adalah
nationale staat. Kita hanya 2 kali mengalami nationale staat, yaitu di jaman
Sri Wijaya dan di zaman Majapahit. Di luar dari itu kita tidak mengalami
nationale staat. Saya berkata dengan penuh hormat kepada kita punya raja-raja
dahulu, saya berkata dengan beribu-ribu hormat kepada Sultan Agung
Hanyokrokoesoemo, bahwa Mataram, meskipun merdeka, bukan nationale staat.
Dengan perasaan hormat kepada Prabu Siliwangi di Pajajaran, saya berkata, bahwa
kerajaannya bukan nationale staat. Dengan persaan hormat kepada Prabu Sultan
Agung Tirtayasa, berkata, bahwa kerajaannya di Banten, meskipun merdeka, bukan
satu nationale staat. Dengan perasaan hormat kepada Sultan Hasanoedin di
Sulawesi yang telah membentuk kerajaan Bugis, saya berkata, bahwa tanah Bugis
yang merdeka itu bukan nationale staat.
Nationale staat
hanya Indonesia seluruhnya, yang telah berdiri dijaman Sri Wijaya dan Majapahit
dan yang kini pula kita harus dirikan bersama-sama. Karena itu, jikalau
tuan-tuan terima baik, marilah kita mengambil sebagai dasar Negara yang
pertama: Kebangsaan Indonesia. Kebangsaan Indonesia yang bulat! Bukan
kebangsaan Jawa, bukan kebangsaan Sumatera, bukan kebangsaan Borneo, Sulawesi,
Bali, atau lain-lain, tetapi kebangsaan Indonesia, yang bersama-sama menjadi
dasar satu nationale staat. Maaf, Tuan Lim Koen Hian, Tuan tidak mau akan
kebangsaan ? Di dalam pidato Tuan, waktu ditanya sekali lagi oleh Paduka Tuan
fuku-Kaityoo, Tuan menjawab: "Saya tidak mau akan kebangsaan".
TUAN LIM KOEN HIAN :
Bukan begitu. Ada sambungannya lagi.
TUAN SOEKARNO :
Kalau begitu, maaf, dan saya mengucapkan terima kasih, karena tuan Lim Koen
Hian pun menyetujui dasar kebangsaan. Saya tahu, banyak juga orang-orang
Tionghoa klasik yang tidak mau akan dasar kebangsaan, karena mereka memeluk
faham kosmopolitisme, yang mengatakan tidak ada kebangsaan, tidak ada bangsa.
Bangsa Tionghoa dahulu banyak yang kena penyakit kosmopolitisme, sehingga
mereka berkata bahwa tidak ada bangsa Tionghoa, tidak ada bangsa Nippon, tidak
ada bangsa India, tidak ada bangsa Arab, tetapi semuanya
"menschheid", "peri kemanusiaan". Tetapi Dr. Sun Yat Sen bangkit,
memberi pengajaran kepada rakyat Tionghoa, bahwa ada kebangsaan Tionghoa! Saya
mengaku, pada waktu saya berumur 16 tahun, duduk di bangku sekolah
H.B.S.diSurabaya, saya dipengaruhi oleh seorang sosialis yang bernama A. Baars,
yang memberi pelajaran kepada saya, - katanya: jangan berfaham kebangsaan,
tetapi berfahamlah rasa kemanusiaan sedunia, jangan mempunyai rasa kebangsan
sedikitpun. Itu terjadi pada tahun 17. Tetapi pada tahun 1918, Alhamdulillah,
ada orang lain yang memperingatkan saya, - ialah Dr Sun Yat Sen! Di dalam
tulisannya "San Min Chu I" atau "The Three People's
Principles", saya mendapat pelajaran yang membongkar kosmopolitisme yang
diajarkan oleh A. Baars itu. Dalam hati saya sejak itu tertanamlah rasa
kebangsaan, oleh pengaruh "The Three People"s Principles" itu.
Maka oleh karena
itu, jikalau seluruh bangsa Tionghoa menganggap Dr. Sun Yat Sen sebagai
penganjurnya, yakinlah, bahwa Bung Karno juga seorang Indonesia yang dengan
perasaan hormat-sehormat-hormatnya merasa berterima kasih kepada Dr. Sun Yat
Sen, - sampai masuk kelobang kubur.
Prinsip
Kedua
Saudara-saudara.
Tetapi ........ tetapi ........... memang prinsip kebangsaan ini ada bahayanya!
Bahayanya ialah mungkin orang meruncingkan nasionalisme menjadi chauvinisme,
sehingga berfaham "Indonesia uber Alles". Inilah bahayanya! Kita
cinta tanah air yang satu, merasa berbangsa yang satu, mempunyai bahasa yang
satu. Tetapi Tanah Air kita Indonesia hanya satu bahagian kecil saja dari pada
dunia! Ingatlah akan hal ini!
Gandhi berkata:
"Saya seorang nasionalis, tetapi kebangsaan saya adalah perikemanusiaan
"My nationalism is humanity". Kebangsaan yang kita anjurkan bukan
kebangsaan yang menyendiri, bukan chauvinisme, sebagai dikobar-kobarkan orang
di Eropah, yang mengatakan"Deutschland uber Alles", tidak ada yang
setinggi Jermania, yang katanya, bangsanya minulyo, berambut jagung dan bermata
biru, "bangsa Aria", yang dianggapnya tertinggi diatas dunia, sedang
bangsa lain-lain tidak ada harganya. Jangan kita berdiri di atas azas demikian,
Tuan-tuan, jangan berkata, bahwa bangsa Indonesialah yang terbagus dan
termulya, serta meremehkan bangsa lain. Kita harus menuju persatuan dunia,
persaudaraan dunia.
Kita bukan saja
harus mendirikan negara Indonesia Merdeka, tetapi kita harus menuju pula kepada
kekeluargaan bangsa-bangsa. Justru inilah prinsip saya yang kedua. Inilah
filosofisch principe yang nomor dua, yang saya usulkan kepada Tuan-tuan, yang
boleh saya namakan "internasionalime". Tetapi jikalau saya katakan
internasionalisme, bukanlah saya bermaksud kosmopolitisme, yang tidak mau
adanya kebangsaan, yang mengatakan tidak ada Indonesia, tidak ada Nippon, tidak
ada Birma, tidak ada Inggris, tidak ada Amerika, dan lain-lainnya.
Internasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak berakar di dalam buminya
nasionalisme. Nasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak hidup dalam
taman-sarinya internasionalisme. Jadi, dua hal ini, saudara-saudara, prinsip 1
dan prinsip 2, yang pertama-tama saya usulkan kepada tuan-tuan sekalian, adalah
bergandengan erat satu sama lain.
Prinsip
Ketiga
Kemudian, apakah
dasar yang ke-3? Dasar itu ialah dasar mufakat, dasar perwakilan, dasar
permusyawaratan. Negara Indonesia bukan satu negara untuk satu orang, bukan
satu negara untuk satu golongan, walaupun golongan kaya. Tetapi kita mendirikan
negara "semua buat semua", "satu buat semua, semua buat
satu". Saya yakin syarat yang mutlak untuk kuatnya negara In-donesia ialah
permusyawaratan perwakilan.
Untuk pihak Islam,
inilah tempat yang terbaik untuk memelihara agama. Kita, sayapun, adalah orang
Islam, -- maaf beribu-ribu maaf, keislaman saya jauh belum sempurna, -- tetapi
kalau saudara-saudara membuka saya punya dada, dan melihat saya punya hati,
tuan-tuan akan dapati tidak lain tidak bukan hati Islam.
Dan hati Islam Bung
karno ini, ingin membela Islam dalam mufakat, dalam permusyawaratan. Dengan
cara mufakat, kita perbaiki segala hal, juga keselamatan agama, yaitu dengan
jalan pembicaraan atau permusyawaratan di dalam Badan Perwakilan Rakyat.
Apa-apa yang belum
memuaskan, kita bicarakan di dalam permusyawaratan. Badan perwakilan, inilah
tempat kita untuk mengemukakan tuntutan-tuntutan Islam. Disinilah kita usulkan
kepada pemimpin-pemimpin rakyat, apa-apa yang kita rasa perlu bagi perbaikan.
Jikalau memang kita rakyat Islam, marilah kita bekerja sehebat-hebatnya,
agar-supaya sebagian yang terbesar dari pada kursi-kursi badan perwakilan
Rakyat yang kita adakan, diduduki oleh utusan Islam. Jikalau memang rakyat
Indonesia rakyat yang bagian besarnya rakyat Islam, dan jikalau memang Islam
disini agama yang hidup berkobar-kobar didalam kalangan rakyat, marilah kita
pemimpin-pemimpin menggerakkan segenap rakyat itu, agar supaya mengerahkan
sebanyak mungkin utusan-utusan Islam ke dalam badan perwakilan ini. Ibaratnya
badan perwakilan Rakyat 100 orang anggautanya, marilah kita bekerja, bekerja
sekeras-kerasnya, agar supaya 60, 70, 80, 90 utusan yang duduk dalam perwakilan
rakyat ini orang Islam, pemuka-pemuka Islam. dengan sendirinya hukum-hukum yang
keluar dari badan perwakilan rakyat itu, hukum Islam pula. Malahan saya yakin,
jikalau hal yang demikian itu nyata terjadi, barulah boleh dikatakan bahwa
agama Islam benar-benar h id u p di dalam jiwa rakyat, sehingga 60%, 70%, 80%,
90% utusan adalah orang Islam, pemuka-pemuka Islam, ulama-ulama Islam. Maka
saya berkata, baru jikalau demikian, baru jikalau demikian, hiduplah Islam
Indonesia, dan bukan Islam yang hanya diatas bibir saja. Kita berkata, 90% dari
pada kita beragama Islam, tetapi lihatlah didalam sidang ini berapa % yang memberikan
suaranya kepada Islam? Maaf seribu maaf, saya tanya hal itu! Bagi saya hal itu
adalah satu bukti, bahwa Islam belum hidup sehidup-hidupnya di dalam kalangan
rakyat. Oleh karena itu, saya minta kepada saudara-saudara sekalian, baik yang
bukan Islam, maupun terutama yang Islam, setujuilah prinsip nomor 3 ini, yaitu
prinsip permusyawaratan, perwakilan. Dalam perwakilan nanti ada perjoangan
sehebat-hebatnya. Tidak ada satu staat yang hidup betul-betul hidup, jikalau di
dalam badan-perwakilannya tidak seakan-akan bergolak mendidih kawah
Candradimuka, kalau tidak ada perjoangan faham di dalamnya. Baik di dalam staat
Islam, maupun di dalam staat Kristen, perjoangan selamanya ada. Terimalah
prinsip nomor 3, prinsip mufakat, prinsip perwakilan rakyat! Di dalam
perwakilan rakyat saudara-saudara islam dan saudara-saudara kristen bekerjalah
sehebat- hebatnya. Kalau misalnya orang Kristen ingin bahwa tiap-tiap letter di
dalam peraturan-peraturan negara Indonesia harus menurut Injil, bekerjalah
mati-matian, agar suapaya sebagian besar dari pada utusan-utusan yang masuk
badan perwakilan Indonesia ialah orang kristen, itu adil, - fair play!. Tidak
ada satu negara boleh dikatakan negara hidup, kalau tidak ada perjoangan di
dalamnya. Jangan kira di Turki tidak ada perjoangan. Jangan kira dalam negara
Nippon tidak ada pergeseran pikiran. Allah subhanahuwa Ta'ala memberi pikiran
kepada kita, agar supaya dalam pergaulan kita sehari-hari, kita selalu
bergosok, seakan-akan menumbuk membersihkan gabah, supaya keluar dari padanya
beras, dan beras akan menjadi nasi Indonesia yang sebaik-baiknya. Terimalah
saudara-saudara, prinsip nomor 3, yaitu prinsip permusyawaratan
Prinsip
Keempat
Prinsip No. 4
sekarang saya usulkan, Saya di dalam 3 hari ini belum mendengarkan prinsip itu,
yaitu prinsip kesejahteraan , prinsip: tidak akan ada kemiskinan di dalam
Indonesia Merdeka. Saya katakan tadi: prinsipnya San Min Chu I ialah Mintsu,
Min Chuan, Min Sheng: nationalism, democracy, sosialism. Maka prinsip kita
harus: Apakah kita mau Indonesia Merdeka, yang kaum kapitalnya merajalela,
ataukah yang semua rakyat sejahtera, yang semua orang cukup makan, cukup
pakaian, hidup dalam kesejahteraan, merasa dipangku oleh Ibu Pertiwi yang cukup
memberi sandang-pangan kepadanya? Mana yang kita pilih, saudara-saudara? Jangan
saudara kira, bahwa kalau Badan Perwakilan Rakyat sudah ada, kita dengan
sendirinya sudah mencapai kesejahteraan ini. Kita sudah lihat, di negara-negara
Eropah adalah Badan Perwakilan, adalah parlementaire democracy. Tetapi tidakkah
di Eropah justru kaum kapitalis merajalela?
Di Amerika ada suatu
badan perwakilan rakyat, dan tidakkah di Amerika kaum kapitalis merajalela?
Tidakkah di seluruh benua Barat kaum kapitalis merajalela? Padahal ada badan
perwakilan rakyat! Tak lain tak bukan sebabnya, ialah oleh karena badan- badan
perwakilan rakyat yang diadakan disana itu, sekedar menurut resepnya Franche
Revolutie. Tak lain tak bukan adalah yang dinamakan democratie disana itu
hanyalah politie-kedemocratie saja; semata-mata tidak ada sociale rechtvaardigheid,
-- tak ada keadilan sosial, tidak ada ekonomische democratie sama sekali.
Saudara-saudara,
saya ingat akan kalimat seorang pemimpin Perancis, Jean Jaures, yang
menggambarkan politieke democratie. "Di dalam Parlementaire Democratie,
kata Jean Jaures, di dalam Parlementaire Democratie, tiap-tiap orang mempunyai
hak sama. Hak politiek yang sama, tiap orang boleh memilih, tiap-tiap orang
boleh masuk di dalam parlement. Tetapi adakah Sociale rechtvaardigheid, adakah
kenyataan kesejahteraan di kalangan rakyat?" Maka oleh karena itu Jean
Jaures berkata lagi: "Wakil kaum buruh yang mempunyai hak politiek itu, di
dalam Parlement dapat menjatuhkan minister. Ia seperti Raja! Tetapi di dalam
dia punya tempat bekerja, di dalam paberik, - sekarang ia menjatuhkan minister,
besok dia dapat dilempar keluar ke jalan raya, dibikin werkloos, tidak dapat
makan suatu apa".
Adakah keadaan yang
demikian ini yang kita kehendaki?
Saudara-saudara,
saya usulkan: Kalau kita mencari demokrasi, hendaknya bukan demokrasi barat,
tetapi permusyawaratan yang memberi hidup, yakni politiek-ecomische democratie
yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial! Rakyat Indonesia sudah lama
bicara tentang hal ini. Apakah yang dimaksud dengan Ratu Adil? Yang dimakksud
dengan faham Ratu Adil, ialah sociale rechtvaardigheid. Rakyat ingin sejahtera.
Rakyat yang tadinya merasa dirinya kurang makan kurang pakaian, menciptakan
dunia-baru yang di dalamnya a d a keadilan di bawah pimpinan Ratu Adil. Maka
oleh karena itu, jikalau kita memang betul-betul mengerti, mengingat mencinta
rakyat Indonesia, marilah kita terima prinsip hal sociale rechtvaardigheid ini,
yaitu bukan saja persamaan politiek, saudara-saudara, tetapi pun di atas
lapangan ekonomi kita harus mengadakan persamaan, artinya kesejahteraan bersama
yang sebaik-baiknya.
Saudara-saudara,
badan permusyawaratan yang kita akan buat, hendaknya bukan badan
permusyawaratan politieke democratie saja, tetapi badan yang bersama dengan
ma-syarakat dapat mewujudkan dua prinsip: politieke rechtvaardigheid dan
sociale rechtvaardigheid.
Kita akan bicarakan
hal-hal ini bersama-sama, saudara-saudara, di dalam badan permusyawaratan. Saya
ulangi lagi, segala hal akan kita selesaikan, segala hal! Juga di dalam urusan
kepada negara, saya terus terang, saya tidak akan memilih monarchie. Apa sebab?
Oleh karena monarchie "vooronderstelt erfelijkheid", - turun-temurun.
Saya seorang Islam, saya demokrat karena saya orang Islam, saya meng-hendaki
mufakat, maka saya minta supaya tiap-tiap kepala negara pun dipilih. Tidakkah
agama Islam mengatakan bahwa kepala-kepala negara, baik kalif, maupun Amirul
mu'minin, harus dipilih oleh Rakyat? Tiap-tiap kali kita mengadakan kepala
negara, kita pilih. Jikalau pada suatu hari Ki Bagus Hadikoesoemo misalnya,
menjadi kepala negara Indonesia, dan mangkat, meninggal dunia, jangan anaknya
Ki Hadikoesoemo dengan sendirinya, dengan automatis menjadi pengganti Ki
Hadikoesoemo. Maka oleh karena itu saya tidak mufakat kepada prinsip monarchie
itu.
Prinsip
Kelima
Apakah prinsip ke-5?
Saya telah
mengemukakan 4 prinsip:
1. Kebangsaan
Indonesia.
2.
Internasionalisme, - atau peri-kemanusiaan.
3. Mufakat, - atau
demukrasi.
4. Kesejahteraan
sosial.
Prinsip yang kelima
hendaknya: Menyusun Indonesia Merdeka dengan bertakwa kepada Tuhan yang Maha
Esa.
Prinsip Ketuhanan!
Bukan saja bangsa Indonesia bertuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia
hendaknya bertuhan Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut
petunjuk Isa al Masih, yang Islam bertuhan menurut petunjuk Nabi Muhammad s.a.w.,
orang Buddha menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi
marilah kita semuanya ber-Tuhan. Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang
tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap
rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada
"egoisme-agama". Dan hendaknya Negara Indonesia satu Negara yang
bertuhan!
Marilah kita
amalkan, jalankan agama, baik Islam, maupun Kristen, dengan cara yang
berkeadaban. Apakah cara yang
berkeadaban itu? Ialah hormat-menghormati satu sama lain.
Nabi Muhammad s.a.w.
telah memberi bukti yang cukup tentang verdraagzaamheid, tentang menghormati
agama-agama lain. Nabi Isa pun telah menunjukkan verdraagzaamheid. Marilah kita
di dalam Indonesia Merdeka yang kita susun ini, sesuai dengan itu, menyatakan:
bahwa prinsip kelima dari pada Negara kita, ialah Ketuhanan yang berkebudayaan,
Ketuanan yang berbudi pekerti yang luhur, Ketuhanan yang hormat-menghormati
satu sama lain. Hatiku akan berpesta raya, jikalau saudara-saudara menyetujui
bahwa Negara Indonesia Merdeka berazaskan Ketuhanan Yang Maha Esa!
Disinilah, dalam
pangkuan azas yang kelima inilah, saudara- saudara, segenap agama yang ada di
Indonesia sekarang ini, akan mendapat tempat yang sebaik-baiknya. Dan Negara
kita akan bertuhan pula!
Ingatlah, prinsip
ketiga, permufakatan, perwakilan, disitulah tempatnya kita mempropagandakan
idee kita masing-masing dengan cara yang berkebudayaan!
Pancasila
"Dasar-dasar
Negara" telah saya usulkan. Lima bilangannya. Inikah Panca Dharma? Bukan!
Nama Panca Dharma tidak tepat disini. Dharma berarti kewajiban, sedang kita
membicarakan dasar. Saya senang kepada simbolik. Simbolik angka pula. Rukun
Islam lima jumlahnya. Jari kita lima setangan. Kita mempunyai Panca Inderia.
Apa lagi yang lima bilangannya?
(Seorang yang hadir:
Pendawa lima).
Pendawapun lima orangnya.
Sekarang banyaknya prinsip; kebangsaan, internasionalisme, mufakat,
kesejahteraan dan ketuhanan, lima pula bilangannya.
Namanya bukan Panca
Dharma, tetapi - saya namakan ini dengan petunjuk seorang teman kita ahli
bahasa namanya ialah Panca Sila. Sila artinya azas atau dasar, dan di atas
kelima dasar itulah kita mendirikan
Negara Indonesia, kekal dan abadi. bilangan lima itu?
Saya boleh peras,
sehingga tinggal 3 saja. Saudara-saudara tanya kepada saya, apakah
"perasan" yang tiga itu? Berpuluh-puluh tahun sudah saya pikirkan
dia, ialah dasar-dasarnya Indonesia Merdeka, Weltanschauung kita. Dua dasar
yang pertama, kebangsaan dan internasionalisme, kebangsaan dan peri-kemanusiaan,
saya peras menjadi satu: itulah yang dahulu saya namakan socio-nationalisme.
Dan demokrasi yang
bukan demokrasi barat, tetapi politiek- economische demokratie, yaitu politieke
demokrasi dengan sociale rechtvaardigheid, demokrasi dengan kesejahteraan, saya
peraskan pula menjadi satu: Inilah yang dulu saya namakan socio-democratie.
Tinggal lagi ketuhanan yang menghormati satu sama lain. Jadi yang asalnya lima
itu telah menjadi tiga: socio-nationalisme, socio-demokratie, dan ketuhanan.
Kalau Tuan senang kepada simbolik tiga, ambillah yang tiga ini.
Tetapi barangkali
tidak semua Tuan-tuan senang kepada trisila ini, dan minta satu, satu dasar
saja? Baiklah, saya jadikan satu, saya kumpulkan lagi menjadi satu. Apakah yang
satu itu?
Gotong
Royong
Sebagai tadi telah
saya katakan: kita mendirikan negara Indonesia, yang kita semua harus
men-dukungnya. Semua buat semua! Bukan Kristen buat Indonesia, bukan golongan
Islam buat Indonesia, bukan Van Eck buat indonesia, bukan Nitisemito yang kaya
buat Indonesia, tetapi Indonesia buat Indonesia, - semua buat semua ! Jikalau
saya peras yang lima menjadi tiga, dan yang tiga menjadi satu, maka dapatlah
saya satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan
"gotong-royong". Negara Indonesia yang kita dirikan haruslah negara
gotong royong! Alangkah hebatnya! Negara Gotong Royong!
"Gotong
Royong" adalah faham yang dinamis, lebih dinamis dari
"kekeluargaan", saudara-saudara! Kekeluargaan adalah satu faham yang
statis, tetapi gotong-royong menggambarkan satu usaha, satu amal, satu
pekerjaan, yang dinamakan anggota yang terhormat Soekardjo satu karyo, satu
gawe. Marilah kita menyelesaikan karyo, gawe, pekerjaan, amal ini, bersama-sama
! Gotong-royong adalah pembantingan-tulang bersama, pemerasan-keringat bersama,
perjoangan bantu-binantu bersama. Amal semua buat kepentingan semua, keringat
semua buat kebahagiaan semua. Ho-lopis-kuntul-baris buat kepentingan bersama!
Itulah Gotong Royong!
Prinsip Gotong
Royong diatara yang kaya dan yang tidak kaya, antara yang Islam dan yang Kristen,
antara yang bukan Indonesia tulen dengan peranakan yang menjadi bangsa
Indonesia.
Pancasila menjadi
Trisila, Trisila menjadi Eka Sila. Tetapi terserah kepada tuan-tuan, mana yang
Tuan-tuan pilih: trisila, ekasila ataukah pancasila? Is i n y a telah saya
katakan kepada saudara-saudara semuanya. Prinsip-prinsip seperti yang saya
usulkan kepada saudara-saudara ini, adalah prinsip untuk Indonesia Merdeka yang
abadi. Puluhan tahun dadaku telah menggelora dengan prinsip-prinsip itu. Tetapi
jangan lupa, kita hidup didalam masa peperangan, saudara- saudara. Di dalam
masa peperangan itulah kita mendirikan negara Indonesia, - di dalam gunturnya
peperangan! Bahkan saya mengucap syukur Alhamdulillah kepada Allah Subhanahu
wata'ala, bahwa kita mendirikan negara Indonesia bukan di dalam sinarnya bulan
purnama, tetapi di bawah palu godam peperangan dan di dalam api peperangan.
Timbullah Indonesia Merdeka, Indonesia yang gemblengan, Indonesia Merdeka yang
digembleng dalam api peperangan, dan Indonesia Merdeka yang demikian itu adalah
negara Indonesia yang kuat, bukan negara Indonesia yang lambat laun menjadi
bubur.
Berhubung dengan
itu, sebagai yang diusulkan oleh beberapa pembicara-pembicara tadi, barangkali
perlu diadakan noodmaatregel, peraturan bersifat sementara. Tetapi dasarnya,
isinya Indonesia Merdeka yang kekal abadi menurut pendapat saya, haruslah Panca
Sila. Sebagai dikatakan tadi, saudara-saudara, itulah harus Weltanschauung
kita. Entah saudara- saudara mufakatinya atau tidak, tetapi saya berjoang sejak
tahun 1918 sampai 1945 sekarang ini untuk Weltanschauung itu. Untuk membentuk
nasionalistis Indonesia, untuk kebangsaan Indonesia; untuk kebangsaan Indonesia
yang hidup di dalam peri-kemanusiaan; untuk permufakatan; untuk sociale
rechtvaardigheid; untuk ke-Tuhananan. Panca Sila, itulah yang berkobar-kobar di
dalam dada saya sejak berpuluh-puluh tahun. Tetapi, saudara-saudara, diterima
atau tidak, terserah saudara-saudara. Tetapi saya sendiri mengerti seinsyaf-
insyafnya, bahwa tidak satu Weltaschauung dapat menjelma dengan sendirinya,
menjadi realiteit dengan sendirinya. Tidak ada satu Weltanschauung dapat
menjadi kenyataan, menjadi realiteit, jika tidak dengan perjoangan!
Janganpun
Weltanschauung yang diadakan oleh manusia, jangan pun yang diadakan Hitler,
oleh Stalin, oleh Lenin, oleh Sun Yat Sen! "De Mensch", -- manusia!
--, harus perjoangkan itu. Zonder perjoangan itu tidaklah ia akan menjadi
realiteit! Leninisme tidak bisa menjadi realiteit zonder perjoangan seluruh
rakyat Rusia, San Min Chu I tidak dapat menjadi kenyataan zonder perjoangan
bangsa Tionghoa, saudara-saudara! Tidak! Bahkan saya berkata lebih lagi dari
itu: zonder perjoangan manusia, tidak ada satu hal agama, tidak ada satu
cita-cita agama, yang dapat menjadi realiteit. Janganpun buatan manusia, sedangkan
perintah Tuhan yang tertulis di dalam kitab Qur'an, zwart op wit (tertulis di
atas kertas), tidak dapat menjelma menjadi realiteit zonder perjoangan manusia
yang dinamakan ummat Islam. Begitu pula perkataan-perkataan yang tertulis
didalam kitab Injil, cita-cita yang termasuk di dalamnya tidak dapat menjelma
zonder perjoangan ummat Kristen.
Maka dari itu,
jikalau bangsa Indonesia ingin supaya Panca Sila yang saya usulkan itu, menjadi
satu realiteit, yakni jikalau kita ingin hidup menjadi satu bangsa, satu
nationali- teit yang merdeka, ingin hidup sebagai anggota dunia yang merdeka,
yang penuh dengan perikemanusiaan, ingin hidup diatas dasar permusyawaratan,
ingin hidup sempurna dengan sociale rechtvaardigheid, ingin hidup dengan
sejahtera dan aman, dengan ke-Tuhanan yang luas dan sempurna, --janganlah lupa
akan syarat untuk menyeleng-garakannya, ialah perjoangan, perjoangan, dan
sekali lagi pejoangan. Jangan mengira bahwa dengan berdirinya negara Indonesia
Merdeka itu perjoangan kita telah berakhir. Tidak! Bahkan saya berkata:
Di-dalam Indonesia Merdeka itu perjoangan kita harus berjalan t e r u s, hanya
lain sifatnya dengan perjoangan sekarang, lain coraknya. Nanti kita,
bersama-sama, sebagai bangsa yang bersatu padu, berjoang terus menyelenggarakan
apa yang kita cita-citakan di dalam Panca Sila. Dan terutama di dalam zaman
peperangan ini, yakinlah, insyaflah, tanamkanlah dalam kalbu saudara-saudara,
bawa Indonesia Merdeka tidak dapat datang jika bangsa Indonesia tidak mengambil
risiko, -- tidak berani terjun menyelami mutiara di dalam samudera yang
sedalam-dalamnya.
Jikalau bangsa
Indonesia tidak bersatu dan tidak menekad-mati-matian untuk mencapai merdeka,
tidaklah kemerdekaan Indonesia itu akan menjadi milik bangsa Indonesia buat
selama-lamanya, sampai keakhir jaman! Kemerdekaan hanya- lah diperdapat dan
dimiliki oleh bangsa, yang jiwanya berkobar-kobar dengan tekad "Merdeka,
-- merdeka atau mati"!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar